Si Halang

ROKAN HILIR - Pulau Halang merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Kubu kabupaten Rokan Hilir provinsi Riau. Pulau penghasil ikan terbesar di kabupaten Rokan Hilir ini berbatasan langsung dengan Selat Melaka. Pulau ini dipercaya berasal dari sebuah legenda anak durhaka si Alang yang kapalnya tenggelam karena ditimpa bencana kutukan dari orangtuanya. Jika dilihat dari satelit, bentuk pulau halang seperti kapal yang ingin berangkat menuju laut lepas, menurut cerita orang tetua dahulu situsnya masih ada berupa tiang layar ke arah ujung pulau, tapi sekarang tidak ada lagi, legenda tentang pulau halang .

Pada zaman dahulu di pinggiran pantai di daerah Pekaitan, Bagansiapi-api hiduplah sepasang suami istri yang memiliki seorang anak bernama Alang, kehidupan mereka sangat sederhana, pekerjaan ayah Alang adalah mencari ikan di laut dan mencari kayu bakar di hutan, Alang sebagai anak semata wayang sangat penurut dan patuh kepada orangtuanya, ia selalu membantu ayahnya menjual ikan di pasar bersama kayu bakar yang telah mereka kumpul beberapa hari sebelumnya. Disampingnya Alang juga belajar silat sehingga ia tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan disegani dikampungnya. Setelah ayah si Alang tua, pekerjaan mencari ikan digantikan oleh Alang, ia tidak hanya menjual ikan di pasar daerahnya tetapi ia juga menjual ikan sampai ke Siak Sri Indrapura.

Pada suatu hari ketika Alang sedang berjualan ikan di pasar Siak Sri Indrapura, terjadilah kericuhan di pasar tersebut yang bersumber dari sekelompok pengacau, pekik dan teriak memenuhi pasar yang berdekatan dengan Sungai Siak tersebut. Alang yang memiliki ilmu silat mengusir para pengacau itu dari pasar, sehingga mereka lari pontang panting. Rupanya aksi Alang ini dilihat oleh pengawal istana kerajaan dan melaporkan kepada sultan, dipanggillah Alang ke istana.

“Siapa namamu anak muda?” tanya Sultan.

“Ampun tuanku baginda Sultan, Alang nama hamba,” sembah sungkem Alang kepada baginda Raja.

“Terimakasih telah mengamankan negeri ini dari pengacau, sekarang sebutkan apa keinginanmu.”

Alang merasa inilah hidupnya akan berubah, bayangan akan kejayaan memenuhi pikiran Alang, sehingga ia mintakan kepada Sultan untuk menjadi pengawal istana, Raja memenuhi permintaan Alang hingga diangkatlah Alang oleh Sultan sebagai pengawal kerajaan. Maka kembalilah Alang ke kampung halamannya di pinggir pantai Pekaitan untuk meminta doa restuayahdanbundanya.

Berat hati Mak Alang melepas anak lelaki satu-satunya itu, pak Alang berusaha menegarkan istrinya dengan beruraikan air mata, berangkatlah Alang ke kerajaan Siak Sri Indrapura dengan bekal paih dodak makanan kesukaan Alang yang dibungkus dalam daun pisang. Sementara di kerajaan, Alang menjadi pengawal kesayangan baginda sultan karena telah berhasil menumpas para pengacau-pengacau baik di daratan maupun di lautan sehingga diangkatlah Alang menjadi panglima kerajaan. Setelah bertahun-tahun lamanya Alang mengabdikandiri pada Kerajaan Siak Sri Indrapura tanpa pernah ia sekalipun menengok orangtuanya di kampung pinggir pantai Pekaitan, menikahlah ia dengan seorang putri saudagar kaya yang ada di kerajaan Siak, sementara emak dan ayahnya yang ia tinggal di kampung terus menanti kepulangan Alang, setiap laki bini itu selesai sholat berdoalah mereka untuk Alang semoga Alang diberikan kemudahan menjalani tugasnya dan semoga Alang lekas kembali menjenguk ayah dan emaknya yang semakin menua, saban petang ditunggulah Alang di dermaga oleh emak Alang, ia berharap kepada kapal-kapal yang merapat di demaga membawa Alang buah hatinya yang sangat ia rindu, begitu ibanya hati ayah Alang melihat istrinya berdidri setiap petang di dermaga, terkadang ia menangis sendiri bergumampadadirinya.

“Alang, baliklah kau ke Pekaitan ko, omak kau tiap potang menunggu kau di pelabuhan”. (Alang pulanglah kau ke Pekaitan, ibumu setiap petang menunggumu di pelabuhan).

Alang yang sudah menjadi saudagar kaya di Siak Sri Indrapura sudah tak ingin lagi kembali ke Pekaitan tanah kelahirannya. Suatu hari istri Alang yang cantik jelita itu mengajak Alang jalan-jalan keliling negeri bersama kapal dagang mereka yang mewah, Alang langsung saja menyetujui usulan istri yang dikasihinya itu, hingga berangkatlah mereka dengan beberapa awak kapal dan bekal selama di perjalanan, ketika kapal si Alang melewati perairan Pekaitan, tampaklah oleh istri Alang sebuah pantai yang indah dengan pasir putihnya, ia ingin ke pantai itu dan menyuruh Alang untuk berlabuh di perairan itu, kontan saja hati Alang gundah gulana, ia tidak ingin berlabuh di perairan itu karena itulah tanah kelahirannya, ia takut orang-orang mengenalnya dan memberi tahu pada ayah dan emaknya kalau ia sedang berada di Pekaitan. Tapi karena istrinya terus mendesak maka berlabuhlah kapal mewah itu di dermaga pekaitan, kehadiran kapal megah itu membuat penduduk sekitar dermaga terkagum-kagum dan bertanya-tanya siapakah gerangan yang memiliki kapal mewah itu.

Alang dan istrinya berdiri di anjungan kapal, pakaian mereka tampak indah berkilau ditimpa mentari, para penduduk terkesima dengan sepasang insan ini, dan salah satu dari penduduk itu adalah si Kantan, kawan bermain Alang waktu kecil dahulu, merasa lelaki yang berdiri di anjungan itu adalah si Alang tergesalah ia pulang untuk mengabari kabar gembirainikepadaayahdanemakalang.

“Wak… Wak… Alang dah balik.. Alang dah balik,” seru Kantan dari kejauhan memberitahukan kepada emak dan ayahnya Alang, tergesa-gesa ia menyampaikannya sehingga kagetlah emaknya si Alang mendengar kabar itu, ia menangis terharu sambil berteriak memanggil suaminya yang berada di belakang membersihkan pekarangan.

“Botul kau cakap tu Ntan?” kata ayah Alang yang tampak tak percaya dengan apa yang disampaikan oleh Kantan.

“Botul wak, aku nampak Alang tadi di dermaga,dio dah kayo kini dah, dio datang pakai kapal cantik, dio pun udah bebini,” semangatnya Kantan menceritakannya.

“Bang oii, bialah aku memasak paih dodak panggang keluang dulu untuk Alang, dio datang nak menjopuik kito,” timpal emaknya Alang pada suaminya. (Bang, biarlah aku memasak dahulu untuk Alang, dia datang mau menjemput kita).

Laki bini itu sibuk memasak di dapur, mereka ingin menyambut buah hati mereka, setelah selesai memasak berangkatlah keduanya ke dermaga bersama rantang paih dodak panggang keluang kesukaan Alang, keduanya teramat gembira hatinya, terlebih emaknya si Alang yang sudah nampak tak sabar ingin berjumpa dengan anaknya, bila suaminya berjalan agak lambat ia memerintahkan agar langkahnya dipercepat.

“Copeklah bang oii, kian Alang lapa menunggu kito.” (Cepatlah bang, nanti Alang lapar menunggu kita).

Hingga tibalah keduanya didermaga, kapal si Alang masih di sana, emak dan ayahnya berteriak memanggil Alang yang masih berdiri di anjungan, Kantan yang menjemput mereka tadi mengantarkan kedua laki bini itu ke kapal Alang dengan perahu kecil, gembira nian hati orang tua itu, sehingga tangannya sendiripun ia buat penggayuh sampan, bayangan akan kerinduan selama bertahun-tahun akan sirna hari itu, dipegangnya erat-erat rantang nasi untuk Alang, sementara Alang yang melihat itu gundah hatinya, ia malu mengakui orang tua itu adalah orangtua kandungnya sehingga mencari akal lah ia.

Sesampai di atas kapal Alang, kedua laki bini itu tak kuasa menahan kerinduan mereka hingga dipeluklah Alang oleh emaknya erat-erat seakan takut Alang akan pergi lagi. Tapi sungguh tak diduga oleh emak dan ayahnya, Alang malah menampik pelukan itu.

“Siapa kau orang tua!” seragah Alang.

“Emak kau Lang, iko omak bawakkan paih dodak samo panggang keluang kesukaan kau.” (Ibumu Lang, ini ibu bawakan Paih Dodak Panggang Keluang Kesukaanmu).

Emaknya mengulurkan rantang nasi yang ia bawa, Alang langsung mengambilnya dan membuangnya di geladak kapal, berserakanlah nasi dan lauk pauk itu di geladak, kedua laki bini itu terdiam tak percaya dengan apa yang mereka lihat.

“Alang, mengapo kau ko Lang, iko na ayah dan umak kau.” Kantan yang juga ada di sana mencoba menengahi sikap Alang barusan. (Alang mengapa kau ini Lang, ini orangtuamu).

“Tuan, ko siapo ngaku-ngaku omak ayah aku, omak ayah aku dah lamo mati dah,” balas Alang.

“Jangan nak jadi anak duhako kau Lang, tak kau ingek samo kami le do,” balas ayahnya Alang.

Istri Alang yang cantik itu merasa iba hatinya dengan emaknya Alang. “Bang, kenapo abang ko, iko na uang tuo ndak bulih kasa do.” (Bang, kenapa abang ini, ini orang tua tidak boleh kasar).

Mendengar istrinya berkata demikian semakin naiklah pitamnya Alang sehingga ia mengusir kedua orang tua itu dari kapalnya, mendapat perlakuan yang tak baik itu pergilah orang tua itu dari sana bersama perasaan mereka yang terluka oleh sikap anaknya, rupanya setelah kejadian itu emaknya Alang tak berhenti meratap, sesekali dipandangnya kapal megah Alang yang sudah hendak pergi meninggalkan dermaga.

“Ya Allah, Alang tak mengakui kami sebagai orangtuanya, ia sudah durhaka, hukumlah dia ya Allah..” emak Alang berdoa sambil memandang kapal Alang yang mulai menjauh, seketika datanglah angin kencang bersama sambaran kilat yang menggelegar, suasana yang tadi bersahabat berubah menjadi sangat menakutkan, orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu lari ke rumah mereka, hanya ayah dan emak Alang yang masih berdiri di pinggir dermaga.

Menyadari ini adalah akibat perbuatannya, Alang menangis berteriak meminta ampun, tetapi sudah terlambat baginya sebuah ombak besar menghantam badan kapal hingga terbaliklah kapal itu bersama Alang beserta isinya, suatu kejadian ajaib terjadi setelah kapal itu tenggelam perlahan-lahan naiklah tanah hingga membentuk sebuah pulau. Emak Alang yang menyaksikan peristiwa itu menyesal, kenapa ia harus mengutuk anaknya, hingga pergilah ia bersama suaminya dengan perahu kecil yang ia pakai saat ke kapal Alang tadi mendekati pulau itu, ia berharap Alang masih di pulau itu, tiba-tiba sebuah ombak menghantam perahu kecil yang dipakai emak dan ayahnya alang sehingga perahu itu juga terbalik, seketika perahu kecil itu juga menjadi pulau, dan masyarakat menamakannya pulau halang kecil, di pulau halang kecil ini tumbulah sebuah pohon mempelam. Konon pohon mempelam ini adalah wujud dari ayah dan emaknya sialang. Pohon bapak Alang tumbuh dengan batang condong ke arah barat, sementara pohon mak Alang tumbuh condong ke timur. Kalau pohon itu berbuah, pohon yang condong ke barat rasanya manis, sementara yang condong ke timur rasanya asam. Setelah pristiwa itu masyarakat mengenang pristiwa Alang dengan sebuah nyanyian sebagai peringatan kepada anak-anak mereka agar tidak durhaka kepada orangtua.

“Semaso dulu dikualo kubu
Dokek Bagan ajo bejamu
Tesobuik kisah anak duhako
Anak tak ponah mengonang jaso
Paih dodak, panggang keluang
Bokal si Alang poi belaya
Setelah kayo lupokan dii
Omak kandungnyo tak diingek lai
Kabullah sumpah omak kandugnyo
Kapal si Alang monjadi pulau
Di situ tumbuh umpunlah pauh
Sebolah manih sebolah masam”